Minggu, 05 April 2020

Teater kapai-kapai, Sebuah kelatahan atas ketidak sadaran

Gnothi Seauton (With images) | Know thyself, Cool words, Know ...
            12 Desember 2019, Teater kapai-kapai hari pertama digelar, sekiranya jam 7 malam acara dilaksanakan, walaupun ada kendala saat open gate yang menjadikannya agak sedikit ngaret, mungkin karena “membludaknya” penonton hingga tempat duduk hampir rapat diisi oleh penonton. Segar rasanya melihat para penonton yang datang membludak untuk malam pertama, sampai mereka rela mengantri untuk kurang lebih 30 menit dari open gate dalam jadwal, namun apakah mereka datang atas sebuah kesadaran untuk menikmati sebuah drama? atau “kelatahan” atas sebuah kewajiban yang diberikan dosen? Saya sendiri tidak dapat mengetahui yang mana yang menjadi alasan para penonton ini untuk datang, namun nampaknya memang benar, kebenaran dan tujuan seseorang hanya bisa diketahui oleh dirinya sendiri dan hanya fenomena yang dapat kita ketahui kebenarannya, terlepas dari itu harus diapresiasikan atas dukungan dan kedatangan para penonton.
            Teater Kapai-Kapai, menceritakan tentang Abu yang menginginkan kebahagiaan sembari terkapai-kapai mencari cermin tipu daya, manifestasi dari kemiskinan, kebodohan dan perbudakan. Disutradarai oleh Yayan Katho yang diangkat dari naskah karya Arifin C. Noor ini rasanya sudah berhasil menghibur penonton yang datang, namun agaknya banyak juga penonton yang datang hanya untuk tertawa. Ber-genre surealis, menggabungkan beberapa zaman menjadi satu waktu, tidak lepas juga rasa drama musical seperti dalam film La La Land yang membuat teater ini tidak hanya menghibur anak-anak namun juga mahasiswa-mahasiswa yang hanya ikut tertawa tanpa menikmati keseluruhan jalan cerita dari teater ini.
            Rupanya mencari kebahagiaan tidak semudah dari yang kita bayangkan, seperti abu yang terkapai-kapai hanya karena ingin bahagia dan terlepas dari kemiskinan. Agama juga yang digadang-gadang sebagai pengobat untuk kesusahan terkadang malah bersifat mengekang dan memberatkan. Rasanya seperti ingin menertawakan hidup, dimana kita mencari kebahagiaan namun dalam proses mencari kebahagiaan ini kita nampaknya seringkali tidak bahagia dan terombang ambing kedalam ketidak pastian dan keraguan eksistensial terkadang seperti kutipan dalam drama Sophocles-Oedpus dimana sebaik-baiknya keberuntungan adalah tidak dilahirkan begitulah hidup bagaikan sebuah drama, drama yang menyedihkan dan penuh tragedi.
            Terakhir, Senang rasanya bisa melihat sebuah komunitas di Sastra Inggris UIN Bandung bisa menggelar pementasan seperti ini, semoga dapat terus berjalan agar bisa menghibur khalayak “umum”. kembali lagi pada pementasan, rasanya pantas jika kita menganggap drama adalah manifestasi dari kehidupan, kita memainkan peran sebagai mana para pemain drama memainkan perannya, namun pertanyaannya apakah bisa kita memainkan peran kita dengan sebaik-baiknya ?


Share:

0 komentar:

Posting Komentar