12 Desember 2019, Teater kapai-kapai
hari pertama digelar, sekiranya jam 7 malam acara dilaksanakan, walaupun ada
kendala saat open gate yang
menjadikannya agak sedikit ngaret, mungkin
karena “membludaknya” penonton hingga tempat duduk hampir rapat diisi oleh
penonton. Segar rasanya melihat para penonton yang datang membludak untuk malam
pertama, sampai mereka rela mengantri untuk kurang lebih 30 menit dari open gate dalam jadwal, namun apakah mereka
datang atas sebuah kesadaran untuk menikmati sebuah drama? atau “kelatahan”
atas sebuah kewajiban yang diberikan dosen? Saya sendiri tidak dapat mengetahui
yang mana yang menjadi alasan para penonton ini untuk datang, namun nampaknya
memang benar, kebenaran dan tujuan seseorang hanya bisa diketahui oleh dirinya
sendiri dan hanya fenomena yang dapat kita ketahui kebenarannya, terlepas dari
itu harus diapresiasikan atas dukungan dan kedatangan para penonton.
Teater Kapai-Kapai, menceritakan
tentang Abu yang menginginkan kebahagiaan sembari terkapai-kapai mencari cermin
tipu daya, manifestasi dari kemiskinan, kebodohan dan perbudakan. Disutradarai
oleh Yayan Katho yang diangkat dari naskah karya Arifin C. Noor ini rasanya
sudah berhasil menghibur penonton yang datang, namun agaknya banyak juga
penonton yang datang hanya untuk tertawa. Ber-genre surealis, menggabungkan beberapa zaman menjadi satu waktu,
tidak lepas juga rasa drama musical
seperti dalam film La La Land yang membuat teater ini tidak hanya menghibur
anak-anak namun juga mahasiswa-mahasiswa yang hanya ikut tertawa tanpa
menikmati keseluruhan jalan cerita dari teater ini.
Rupanya mencari kebahagiaan tidak
semudah dari yang kita bayangkan, seperti abu yang terkapai-kapai hanya karena
ingin bahagia dan terlepas dari kemiskinan. Agama juga yang digadang-gadang
sebagai pengobat untuk kesusahan terkadang malah bersifat mengekang dan
memberatkan. Rasanya seperti ingin menertawakan hidup, dimana kita mencari
kebahagiaan namun dalam proses mencari kebahagiaan ini kita nampaknya
seringkali tidak bahagia dan terombang ambing kedalam ketidak pastian dan
keraguan eksistensial terkadang seperti kutipan dalam drama Sophocles-Oedpus
dimana sebaik-baiknya keberuntungan adalah tidak dilahirkan begitulah hidup
bagaikan sebuah drama, drama yang menyedihkan dan penuh tragedi.
Terakhir, Senang rasanya bisa
melihat sebuah komunitas di Sastra Inggris UIN Bandung bisa menggelar
pementasan seperti ini, semoga dapat terus berjalan agar bisa menghibur
khalayak “umum”. kembali lagi pada pementasan, rasanya pantas jika kita
menganggap drama adalah manifestasi dari kehidupan, kita memainkan peran
sebagai mana para pemain drama memainkan perannya, namun pertanyaannya apakah
bisa kita memainkan peran kita dengan sebaik-baiknya ?
0 komentar:
Posting Komentar