Minggu, 05 April 2020

Review Ayu Utami - Saman yang "Feminis"


Saman': Mencium Harumnya Sastra Wangi bersama Ayu Utami - Kalikata
Penulis : Ayu Utami

“Timur dan Barat pastilah konsep yang amat ganjil sebab kita berbicara tentang kesopanan sambil telanjang”

Saman
Isu feminisme dan LGBT sedang santer-santernya dibicarakan dan tidak habis menjadi perdebatan di semua kalangan, literatur bertema feminisme dan LGBT juga sudah muncul kepermukaan, walaupun di Indonesia sendiri baru sampai pada literatur feminisme yang muncul kepermukaan rasanya akan sulit bagi literatur bergenre LGBT untuk muncul kepermukaan, terlebih lagi masyarakat kita kurang menerima apa yang bertentangan dengan dogma agama dan kurang menjungjung keterbukaan.
            Jika membahas feminisme dalam literatur di Indonesia tidak lengkap rasanya jika tidak membaca buku Ayu Utami, karyanya yang berjudul Saman yang pertama kali dicetak tahun 1998, buku ini berlatar pada masa Orde Baru dan rasanya sangat berani untuknya mengangkat isu Feminisme terlebih lagi sangat eksplisit dan kontroversial dan menjadi perdebatan dikalangan sastrawan sendiri.
`           Menceritakan tentang Saman sebagai tokoh utama yang mana, Saman sendiri adalah mantan pendeta yang dulunya bernama  Wisanggeni, perjalanan hidupnya selama menjadi pendeta hingga pada akhirnya dia menjadi buronan, karena memperjuangkan apa yang menurutnya benar dan membela hak-hal masyarakat mengharuskannya berganti nama sehingga ia memilih nama Saman.
            Saman mengenal empat gadis yang saling berhubungan dalam novel ini yakni Laela, Shakuntala, Cok dan Yasmin. Mereka berempat adalah teman sejak kelas enam SD, Shakuntala paling tinggi di antara mereka, Laela paling kecil, Yasmin yang paling bagus nilai rapornya, dan Cok yang paling genit diantara mereka berempat.
            Pada saat dewasa mer eka berempat memilih jalannya masing-masing, Laela bekerja sebagai fotografer dan mendapat kontrak untuk bekerjasama dengan perusahaan pengebor minyak disana ia bertemu dengan Sihar seorang pekerja yang bekerja disana, namun ia sudah memiliki istri dan meskipun begitu mereka tetap menjadi hubungan dengan Laela yang merasa tidak harus bagaimana hingga ia membawa kebingungannya tersebut sampai ke New York. Shakuntala adalah seorang wanita yang sakit hati dengan ayahnya karena dibuang ke kota asing yang tidak ia kenali Shakuntala memiliki pendirian yang kuat tentang sex dan percintaan. Cok adalah wanita yang sering bergonta ganti pasangan sampai ia ketahuan orang tuanya dan sekolahnya dipindahkan semasa dia remaja. Yasmin adalah sosok yang akan membantu Saman untuk meloloskan diri dengan background-nya yang bekerja di bidang hukum, hingga akhirnya Yasmin merasakan sesuatu yang berbeda pada diri Saman dan merasa nyaman dengannya walaupun ia sudah memiliki suami dan keterbatasan jarak yang saling memisahkan antara dirinya dengan Saman.
            Rasanya nilai yang terkandung dalam novel ini tidak diragukan lagi, meskipun jalan ceritanya yang loncat-loncat dan terkadang membuat saya bingung, novel ini memiliki sesuatu yang berbeda, dengan mengangkat sex dan hal tabu dalam diri wanita pada umumnya. Tidak terlepas dari perdebatan banyak tulisan yang memojokan novel Ayu Utami ini, terlebih lagi Ayu Utami yang dulunya memilih untuk tidak akan menikah dan sekarang sudah menikah, seakan melanggar prinsipnya sendiri, juga dalam novel ini disuatu titik daya berkesimpulan bahwa wanita dapat memuaskan dirinya tanpa seorang laki-laki sekalipun, terlebih lagi wanita terkadangan melupakan dirinya sendiri dalam mencari kepuasan dan terlalu sering mengutamakan pasangannya. Tulisan Vagina Yang Haus Sperma misalnya, disana dengan jelas sekali bahwa novel Ayu Utami ini seakan tidak konsisten dalam menggambarkan hal-hal eksplisit dalam wilayah perempuan dibandingan dengan menggambarkannya pada seorang laki-laki.
            Terlepas dari semua perdebatan tersebut, banyaknya biblical story dan kosakata baru yang dapat kita serap, novel ini sangat layak untuk dibaca, terutama bagi para wanita, agar memperluas wawasan tentang feminismenya supaya tidak berhenti di fenimisme rokok, semoga nilai-nilai positif yang dapat diambil dari novel ini dapat merubah cara pandang kita terhadap wanita.

Teater kapai-kapai, Sebuah kelatahan atas ketidak sadaran

Gnothi Seauton (With images) | Know thyself, Cool words, Know ...
            12 Desember 2019, Teater kapai-kapai hari pertama digelar, sekiranya jam 7 malam acara dilaksanakan, walaupun ada kendala saat open gate yang menjadikannya agak sedikit ngaret, mungkin karena “membludaknya” penonton hingga tempat duduk hampir rapat diisi oleh penonton. Segar rasanya melihat para penonton yang datang membludak untuk malam pertama, sampai mereka rela mengantri untuk kurang lebih 30 menit dari open gate dalam jadwal, namun apakah mereka datang atas sebuah kesadaran untuk menikmati sebuah drama? atau “kelatahan” atas sebuah kewajiban yang diberikan dosen? Saya sendiri tidak dapat mengetahui yang mana yang menjadi alasan para penonton ini untuk datang, namun nampaknya memang benar, kebenaran dan tujuan seseorang hanya bisa diketahui oleh dirinya sendiri dan hanya fenomena yang dapat kita ketahui kebenarannya, terlepas dari itu harus diapresiasikan atas dukungan dan kedatangan para penonton.
            Teater Kapai-Kapai, menceritakan tentang Abu yang menginginkan kebahagiaan sembari terkapai-kapai mencari cermin tipu daya, manifestasi dari kemiskinan, kebodohan dan perbudakan. Disutradarai oleh Yayan Katho yang diangkat dari naskah karya Arifin C. Noor ini rasanya sudah berhasil menghibur penonton yang datang, namun agaknya banyak juga penonton yang datang hanya untuk tertawa. Ber-genre surealis, menggabungkan beberapa zaman menjadi satu waktu, tidak lepas juga rasa drama musical seperti dalam film La La Land yang membuat teater ini tidak hanya menghibur anak-anak namun juga mahasiswa-mahasiswa yang hanya ikut tertawa tanpa menikmati keseluruhan jalan cerita dari teater ini.
            Rupanya mencari kebahagiaan tidak semudah dari yang kita bayangkan, seperti abu yang terkapai-kapai hanya karena ingin bahagia dan terlepas dari kemiskinan. Agama juga yang digadang-gadang sebagai pengobat untuk kesusahan terkadang malah bersifat mengekang dan memberatkan. Rasanya seperti ingin menertawakan hidup, dimana kita mencari kebahagiaan namun dalam proses mencari kebahagiaan ini kita nampaknya seringkali tidak bahagia dan terombang ambing kedalam ketidak pastian dan keraguan eksistensial terkadang seperti kutipan dalam drama Sophocles-Oedpus dimana sebaik-baiknya keberuntungan adalah tidak dilahirkan begitulah hidup bagaikan sebuah drama, drama yang menyedihkan dan penuh tragedi.
            Terakhir, Senang rasanya bisa melihat sebuah komunitas di Sastra Inggris UIN Bandung bisa menggelar pementasan seperti ini, semoga dapat terus berjalan agar bisa menghibur khalayak “umum”. kembali lagi pada pementasan, rasanya pantas jika kita menganggap drama adalah manifestasi dari kehidupan, kita memainkan peran sebagai mana para pemain drama memainkan perannya, namun pertanyaannya apakah bisa kita memainkan peran kita dengan sebaik-baiknya ?


Kita Latah dan Tidak Siap

Mitos Sisifus - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Wabah Covid-19 memaksa segala kegiatan akademik dilangsungkan dengan cara daring, ini di satu sisi memecahkan masalah; dimana untuk memutus rantai penyebaran ini kontak langsung harus dilakukan seminimal mungkin, namun ada masalah yang muncul... yakni ketidak siapan kita sebagai praktisi pendidikan dalam menyikapi hal daring ini, kita seakan kehilangan "idea" bagaimana kelas-kelas kelas daring ini seharusnya dilaksanakan. Maka bukannya mendorong pada kemajuan intektualitas, kelas-kelas daring ini malah semakin merosot bobotnya dimata saya sebagai mahasiswa.

Kelas-kelas daring yang sekarang ini membuktikan bahwa silabus kita yang ada belum siap untuk menghadapi kemajuan zaman, jika ditelisik lebih dalam lagi tidak banyak dosen/guru yang hanya memberi tugas tanpa pengertian materi kepada anak didiknya, seakan porsi ceramah guru yang seharusnya ada dibuang begitu saya dengan dalih murid seharusnya sudah bisa lebih mandiri.

Adapun keresahan lain yang ingin saya angkat adalah, dorongan tanya-jawab sebagai penilaian dalam situasi daring seperti ini seakan mengesampingkan aspek keingintahuan, maksud saya mahasiswa dengan dorongan dari dosen membuat sebuah pertanyaan yang menurut saya sendiri "pertanyaan mencerminkan pemahaman seseorang" seakan hilang begitu saya dengan adanya formalitas dan kewajiban dalam bertanya dan menjawab, siswa menjadi kelabakan dalam menggali nilai dan mengesampingkan urgensi sebenarnya dari pertanyaan.

Maka tidak aneh jika grup-grup mahasiswa diisi dengan celetukan: "gw udah nanya nih boleh tidur ga?" yang saya maksudkan adalah ketidak sadaran semakin masuk merembas dalam pori pori siswa dan dosennya, membuat kita semakin bebal karena ketidaksiapan dalam menghadapi kemajuan zaman.

Rabu, 14 Agustus 2019

Review Music Reality Club - Telenovia


Reality Club - Telenovia

Reality Club, band indie-pop Indonesia yang ber”taste” internasional. Dibentuk tahun 2016 yang beranggotakan :
·         Fathia Izzati – vokal
·         Nugi Wicaksono – bas
·         Iqbal Anggakusumah – gitar
·         Era Patigo – drum
·         Faiz Novascotia Saripudin – vokal, gitar
 Dalam singlenya ini nuansa khas  espanyol sudah terasa dalam lagu ini sedari judulnya Telenovia,  judulnya diambil dari kata Telenovela  yaitu Soap Opera dan Novia yang berarti Lover. Mungkin karena memang latar belakang dari Kedua member dari band ini; Fathia Izzzati dan Kakaknya Faiz yang merupakan anak seorang diplomat, pernah merasakan indahnya spanyol.

 Bertema tentang toxic realitionship; addicted to lies,cheating etc.
“All along the west, we look to the east
The answer’s there in silhouettes
But silver’s all above our heads”

Seakan mengalihkan pandangan dari apa yang seharusnya kita hadapi dan malah berusaha untuk mencari jawaban lain, itulah yang ada dalam benak saya ketika mendengar lirik ini, terasa sepele memang namun… bukankah itu yang membawa kita dalam hubungan yang tidak sehat?
“All along we were addicted
To the kind of shapes our pain afflicted
Wrestling till the monochrome moonlight
 It’s a shade that we will never be”

Ini bagian yang sangat saya sukai dari lagu ini, kita seperti sudah terbiasa dengan hal-hal yang menyakitkan seperti seseorang yang semakin lama addicted dengan susuatu yang seperti itu, lebih memilih dibohongi dengan sesuatu yang menyenangkan daripada diberikan the truth yang menyakitkan seperti dalam lirik lagunya;

“I can’t explain at all, I crave to hear the fiction when you call”.

                Sesuatu yang unik! Begitulah kesimpulan dari saya tentang lagu ini, dialog khas film-film spanyol pun hadir dalam lagu ini. Fathia Izzati seakan membuat saya masuk ke dalam bagian Telenovela ini. Satu kutipan terakhir dari lagu ini :
“Bueno, está bien si es lo que quieras. Aunque tenemos que decir adiós, recuérdate que siempre te amare”.

Adios!